TEMPO.CO, Jakarta - Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) untuk anak sekolah akan dimulai pekan depan pada Senin, 4 Agustus 2025. Program ini merupakan salah satu janji Presiden Prabowo Subianto saat kampanye dalam kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 lalu.
Kementerian Kesehatan menargetkan program ini menjangkau 58 juta siswa di 282.317 satuan pendidikan pada akhir tahun. Adapun program akan berlaku untuk siswa di sekolah dasar hingga tingkat atas yang berada di bawah asuhan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, lalu madrasah dan pesantren yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, serta sekolah rakyat yang diasuh oleh Kementerian Sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan Maria Endang Sumiwi merinci sasaran program cek kesehatan gratis untuk siswa. Ia memaparkan, CKG akan diberikan kepada 28 juta siswa yang ada di sekolah dasar atau SD, lalu 13 juta peserta didik di 63.000 Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Pada tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) itu ada tiga puluh sembilan ribu delapan ratus sebelas dengan peserta didik 12 juta," kata dia dalam konferensi pers via zoom, Kamis, 31 Juli 2025.
Program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini juga akan diberikan kepada 161 ribu anak di 2.389 Sekolah Luar Biasa atau SLB, dan menyasar 9.755 lima peserta didik di 100 sekolah rakyat.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan program ini sebetulnya sudah diuji coba di sekolah rakyat sebelum tahun ajaran baru dibuka pada 14 Juli 2025. Namun, program secara masif baru akan dimulai pada besok Senin ditandai dengan peluncuran di 12 sekolah di wilayah Jakarta.
Setelah itu, pemeriksaan baru akan dilakukan secara serentak dan berkelanjutan di seluruh Indonesia hingga Desember 2025. "Ini program yang akan terus menerus," kata dia.
Budi menjelaskan pelaksanaan cek kesehatan gratis untuk pelajar akan dilakukan melalui dua jalur utama, yakni di puskesmas dan di sekolah. Hal ini secara spesifik disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah. “Bagaimana secara logistik pelaksanaannya lebih masuk akal karena tempatnya tetap dan tidak berpindah-pindah."
Pemeriksaan yang dilakukan akan disesuaikan dengan usia siswa. Untuk anak SD atau rentang usia 7-12 tahun misalnya, mereka akan mendapatkan 13 jenis pemeriksaan meliputi masalah gigi, perilaku berisiko, aktivitas fisik, tekanan darah, gula darah, tuberkulosis, telinga, mata, kesehatan jiwa, dan hepatitis, kesehatan reproduksi, hingga riwayat imunisasi.
Sementara ada 15 pemeriksaan untuk anak SMP dan 14 pemeriksaan untuk anak SMA. Salah satu pemeriksaan tambahan itu adalah riwayat Imunisasi HPV khusus untuk siswa perempuan, dan talasemia atau kelainan darah. Budi menegaskan paket skrining akan juga akan mencakup kondisi psikologis siswa.
Nantinya, hasil pemeriksaan kesehatan ini akan dijadikan rujukan untuk pengobatan lebih lanjut, juga sebagai acuan bagi sekolah untuk membuat program kesehatan. "Nah nanti sekolah bersama puskesmas itu akan merancang bersama. Oh sebaiknya untuk peningkatan kesehatan di sekolah ini seperti apa," ujar dia.
Dihubungi terpisah, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menuturkan pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di berbagai daerah di Indonesia. Siswa akan mulai skrining setelah selesai menggelar Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). "Kami mendukung rencana Kementerian Kesehatan untuk bisa dimulai di bulan Agustus," kata Mu'ti.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto juga mendukung program ini. Namun, ia juga mengingatkan bahwa program ini tidak boleh berhenti hanya pada tahap deteksi. Menurut dia deteksi dini yang dilakukan harus disertai tindakan intervensi pada tahap berikutnya.
“Kalau kita hanya fokus pada angka hasil skrining, tanpa memikirkan apa yang terjadi setelah itu, maka program ini akan kehilangan makna,” ujar Edy melalui keterangan tertulis pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Politikus PDI Perjuangan itu juga mewanti-wanti bahwa tenaga kesehatan di beberapa wilayah terpencil tidak banyak yang memiliki kemampuan soal kejiwaan. Oleh karena itu, ia usul agar Kementerian Kesehatan memperluas pelatihan kepada perawat dan dokter umum di puskesmas. "Termasuk memberdayakan kader kesehatan masyarakat untuk melakukan deteksi awal secara tepat," tutur dia.
Soal tes Kesehatan jiwa siswa, Edy berpendapat ada tiga kelompok yang harus dijangkau pemerintah. Pertama, anak-anak yang tidak mengalami gangguan untuk diberikan promosi kesehatan jiwa, lalu mereka yang menunjukkan gejala ringan atau sedang untuk diberikan intervensi, dan mereka yang memiliki masalah berat untuk segera dirujuk.
Ia menegaskan pemeriksaan kesehatan mental siswa penting untuk dilakukan mengingat ekosistem sekolah di Indonesia masih belum sehat, terutama soal perundungan. "Kita tidak bisa menunggu anak mengalami gangguan berat baru bertindak. Justru intervensi dini akan menyelamatkan masa depan mereka."
Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.