
PEMBERIAN amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto Kristiyanto dan Thomas Trikasih Lembong mengonfirmasi bahwa sistem serta proses penegakkan hukum di Indonesia merupakan alat permainan politik semata.
Hal tersebut dikhawatirkan dapat menjadi pola berulang di kemudian hari ketika terjadi suatu kondisi yang tak menguntungkan pihak yang berkuasa.
"Pada titik ini kita melihat bahwa pihak yang oposisi terhadap pemerintah masih mengalami kerentanan untuk dikriminalisasi dan dipermainkan sebagai alat tukar-menukar kepentingan politik," ujar pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona saat dihubungi, Selasa (5/8).
Dia tak menampik bahwa pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden merupakan hak yang dimiliki oleh kepala negara, atau memiliki kewenangan eksepsional dalam ranah hukum. Namun jika praktik penegakkan hukum hanya didasari pada urusan politik semata, maka preseden buruk dapat melekat pada kemampuan negara menegakkan hukum.
Karenanya, Yance mendorong adanya pembenahan mendasar agar penegakkan hukum di Tanah Air tidak tunduk pada kewenangan eksepsional yang dimiliki presiden, melainkan mengacu pada prinsip hukum itu sendiri.
"Fakta-fakta hukum, norma-norma hukumlah yang harus menjadi penentu dari keputusan-keputusan, bukan didasarkan kepada perhitungan-perhitungan politik, pertimbangan-pertimbangan politik yang jangka pendek," terang Yance.
"Amnesti dan abolisi ini sekali lagi menunjukkan bahwa di Indonesia bukan hukum, tetapi justru politik yang menjadi panglima dalam proses penegakan hukum di Indonesia," tambahnya.
Dalam kasus Hasto dan Tom Lembong, Yance menilai upaya pemegang kekuasaan menampilkan Prabowo sebagai pahlawan di tengah kesemrautan penegakan hukum di Indonesia. Amnesti dan abolisi ini menunjukkan Indonesia tidak berpegang teguh kepada prinsip the rule of law sebenarnya.
Semestinya, pengadilan yang melakukan koreksi jika memang itu dianggap sebagai sesuatu yang keliru. Kondisi itu kian mempertegas bahwa permasalahan penegakan hukum diselesaikan melalui keputusan politik.
"Pada satu sisi sebenarnya mengonfirmasi bahwa ada politisasi dalam penegakan hukum untuk melawan oposisi, orang yang berseberangan dengan pemerintahan," tutur Yance.
Evaluasi KPK dan Kejaksaan
Karena itu pula, semestinya turut dilakukan evaluasi terhadap politisasi penegakan tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK dan Kejaksaan. Tujuannya ialah agar hal yang sama tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Yance menuturkan, semestinya pemberian amnesti diberikan dengan pertimbangan kepentingan umum, alih-alih kepentingan politik. Contoh pemberian amnesti yang tepat ialah pada saat diberikan kepada eks anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Amnesti pada eks anggota GAM diberikan dalam rangka menyelesaikan persoalan untuk rekonsiliasi. "Sementara dalam kasus Hasto dan Tom Lembong, kita tidak melihat itu ada problem sosial disintegrasi seperti yang terjadi dengan Aceh dan juga dengan Papua," kata Yance. (Mir/I-1)