
ASUMSI makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang optimistis berisiko kembali mengulang deviasi antara target dan realisasi. Hal itu berimplikasi pada tertekannya penerimaan, lonjakan subsidi, beban bunga utang, hingga turunnya PNBP, sehingga melemahkan kredibilitas fiskal.
Hal itu diutarakan dalam laporan terbaru dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia berjudul "RAPBN 2026: Ekspansi Fiskal di Atas Fondasi yang Rapuh".
CORE menyebut target asumsi makro Indonesia dalam APBN kerap meleset secara historis. RAPBN 2026 dengan asumsi yang cenderung optimistis berisiko mengulang pola yang sama.
Apalagi, RAPBN 2026 hadir di tengah tantangan ekonomiyang semakin kompleks, baik dari sisi domestikmaupun global.
"Deviasi antara target dan realisasi bukan sekadar perbedaan teknis, melainkan sinyal rapuhnya postur fiskal yang dibangun di awal tahun anggaran," ungkap laporan yang diterima, Rabu (20/8).
"Ketika pertumbuhan meleset dari target, penerimaan perpajakan tertekan; ketika ICP di luar perkiraan, beban subsidi atau kompensasi energi melonjak; ketika nilai tukar melemah melebihi asumsi, pembayaran bunga utang valas membengkak; dan ketika lifting migas tak tercapai, PNBP dari sumber daya alam langsung terpangkas," lanjutnya.
Rangkaian deviasi inilah yang secara historis memaksa pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan fiskal di tengah tahun. Imbasnya dapat menggerus kredibilitas perencanaan anggaran.
CORE juga menyoroti target pertumbuhan ekonomi 5,4% tergolong optimistis. Hal itu mengingat berbagai tantangan struktural yang masih dihadapi dan lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan 2025 yang cenderung melemah ke kisaran 4,7-4,8% menurut CORE Indonesia.
"Tantangan terbesar datang dari moderasi konsumsi rumah tangga yang masih dibayangi pemulihan daya beli, melemahnya permintaan global untuk ekspor, dan investasi yang belum konsisten tumbuh di atas 5%. Tanpa percepatan signifikan di industri pengolahan dan sektor jasa bernilai tambah, target ini rentan tidak tercapai (undershooting) seperti yang terjadi pada periode 2020–2024," paparnya. (Ifa)