Liputan6.com, Jakarta Mantan gelandang kenamaan, Lassana Diarra, menggegerkan dunia sepak bola dengan menggugat FIFA. Tuntutan yang diajukan bernilai €65 juta, atau setara Rp1,16 triliun, jumlah yang mencerminkan kerugian besar akibat aturan transfer FIFA. Klaim ini menjadi upaya Diarra mencari kompensasi atas karier yang terganggu.
Konflik ini berawal dari perselisihan kontrak Diarra dengan Lokomotiv Moscow pada 2014. FIFA menjatuhkan denda dan skorsing yang membuatnya tidak bisa bermain selama 11 bulan. Dampaknya, Diarra kehilangan momentum di level tertinggi dan mengalami kerugian signifikan.
Kasus hukum Diarra berpotensi menjadi salah satu paling berpengaruh sejak Bosman Ruling pada 1995. Putusan pengadilan di Belgia dipandang akan menentukan arah masa depan transfer pemain di Eropa. Perkembangan ini menjadi sorotan luas di dunia sepak bola.
Awal Konflik: Kontrak dan Hukuman Berat
Masalah bermula ketika Diarra menandatangani kontrak empat tahun dengan Lokomotiv Moscow pada 2013. Hanya berselang setahun, klub Rusia itu memutus kontraknya karena sengketa gaji yang berujung pahit.
FIFA melalui Kamar Penyelesaian Sengketa (DRC) menyatakan Diarra bersalah dan memerintahkannya membayar €10 juta (sekitar Rp178 miliar) ke Lokomotiv Moscow. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh CAS sehingga membuat posisi Diarra makin sulit.
Skorsing 15 bulan yang diterima juga membuatnya tak bisa merumput. Klub Belgia, Charleroi, bahkan mundur untuk merekrutnya karena takut menanggung risiko finansial.
Dasar Tuntutan: Putusan Uni Eropa
Diarra mendasarkan gugatannya pada putusan Pengadilan Kehakiman Uni Eropa (CJEU) Oktober 2024. Pengadilan menyatakan aturan FIFA menghambat pergerakan bebas pemain secara tidak proporsional.
CJEU menilai bahwa peraturan FIFA, termasuk penolakan Sertifikat Transfer Internasional (ITC), telah membatasi kebebasan bergerak. Selain itu, pengadilan menegaskan aturan tersebut melanggar hukum persaingan Uni Eropa.
Putusan CJEU juga menyoroti bahwa aturan transfer FIFA tidak sesuai dengan hukum ketenagakerjaan di Eropa. Karena mediasi dengan FIFA gagal, Diarra akhirnya melanjutkan langkah hukum ke pengadilan Belgia.
Dibandingkan dengan Bosman Ruling
Kasus Diarra kerap dibandingkan dengan Bosman Ruling 1995 yang mengguncang dunia sepak bola. Saat itu, Jean-Marc Bosman berhasil memperjuangkan hak pemain pindah klub bebas biaya setelah kontraknya berakhir.
Namun, perbedaan utama kasus Diarra adalah soal kontrak aktif dan penalti finansial. Ia mempertanyakan apakah adil seorang pemain dihukum berat ketika terjadi pemutusan kontrak tanpa alasan sah.
Kasus ini juga bisa membuka jalan bagi aturan baru yang lebih adil antara klub, liga, dan serikat pekerja. Seperti Bosman Ruling, putusan Diarra dapat menegaskan supremasi hukum Uni Eropa atas regulasi FIFA.
Dampak Luas dan Dukungan Pemain
Kasus Diarra menarik dukungan luas dari FIFPRO, serikat pemain global. Divisi Eropa FIFPRO bahkan menegaskan kasus ini menyangkut kepentingan seluruh pemain profesional.
FIFA memang telah merilis “kerangka peraturan sementara” pada Desember 2024. Namun, Diarra menilai langkah itu belum memenuhi standar yang ditetapkan pengadilan. Ia bersikeras perubahan tersebut hanya kosmetik dan tidak menyentuh masalah utama.
Kasus ini juga memicu gugatan class action dari kelompok pemain Belanda, Justice for Players (JfP). Putusan pengadilan Belgia terkait tuntutan Diarra diperkirakan keluar dalam 12 hingga 15 bulan ke depan.