
KOORDINATOR Perempuan Mahardhika Jakarta, Sarah mengungkapkan bahwa perempuan di Jakarta masih terjebak dalam ketidakpastian. Mulai dari sulit cari kerja dan kerentanan di dunia kerja.
"Kami menyadari bahwa perempuan, terutama perempuan muda, masih terjebak dalam ketidakpastian. Ketidakpastian ini dirasakan dalam mencari kerja, dalam hal akademik, dan dalam kehidupan sehari-hari," kata Sarah dalam konferensi pers "Panggung Merdeka 100%" secara daring, Jumat (15/8).
Dalam konteks lapangan pekerjaan, Sarah menilai bahwa banyak perempuan yang kesulitan mencari kerja di Jakarta. Meskipun Jakarta dikenal sebagai pusat ekonomi dan pusat berbagai kegiatan di Indonesia, realitasnya jauh dari gambaran tersebut.
"Walaupun branding-nya Jakarta ini sebagai pusat ekonomi, pusat segala sesuatunya di Indonesia, tapi realitanya banyak sekali perempuan yang kesulitan mencari pekerjaan yang layak," ujarnya.
Akibat kondisi tersebut, banyak perempuan yang terpaksa bekerja di sektor informal, seperti menjadi content creator, freelancer, host live TikTok, dan berbagai pekerjaan serupa. Namun, sektor ini tidak lepas dari permasalahan baru.
"Teman-teman yang terjebak dalam sektor informal itu juga mengalami eksploitasi digital, pelecehan berbasis gender secara online, dan sama sekali tidak ada perlindungan atau jaminan sosial," imbuhnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada buruh pabrik perempuan yang saat ini sistem kerjanya masih eksploitatif. Ia menyebut jam kerja panjang, lembur yang tidak dibayar, hak maternitas yang diabaikan, hingga cuti haid yang tidak diprioritaskan menjadi keluhan rutin para buruh perempuan.
Bahkan, hingga saat ini masih juga terdapat banyak buruh perempuan yang bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek, mulai dari satu hingga tiga bulan.
"Mungkin ini sudah dianggap biasa dan normal oleh teman-teman buruh. Tapi bagi kami, ini bentuk ketidakpastian yang membuat mereka semakin rentan," ucapnya.
Selain itu, sambung dia, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) juga semakin nyata. Hal tersebut menimbulkan ketakutan bagi para pekerja, tidak hanya di sektor pabrik tetapi juga di perusahaan besar dan korporasi yang sebelumnya dianggap stabil.
Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar soal upah atau kontrak kerja, melainkan tentang hak atas pekerjaan yang layak dan rasa aman.
"Kepastian pekerjaan itu jauh dari realitas sehari-hari. Kemerdekaan pun menjadi makna yang tidak ada ketika teman-teman masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan di-PHK, mengalami kekerasan seksual di ruang publik, di tempat kerja, bahkan di kampus," tuturnya.
"Bagi kami, kemerdekaan tidak hanya tentang terbebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari rasa takut, dari eksploitasi, dari diskriminasi. Selama itu belum terpenuhi, kami belum bisa mengatakan bahwa perempuan di Indonesia telah merdeka," sambungnya. (H-4)