Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat lebih dari 60 ribu kasus kanker payudara baru pada tahun 2022. Hal ini menjadikannya sebagai penyakit kanker paling banyak diderita perempuan Indonesia, dengan tingkat kematian berada di angka 34 persen.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi menyebut, tingkat kematian akibat kanker payudara bisa ditekan dengan melakukan deteksi dini.
“Angka payudara sebenarnya kalau ditemukan dari stadium dini itu bisa angka survival-nya itu mencapai lebih dari 90 persen,” katanya dalam acara Forum Jurnalis Kesehatan “Menurunkan Beban dan Angka Kematian Akibat Kanker Payudara: Strategi, Aksi Kolaborasi” pada Senin, 29 September 2025.
Sayangnya, di Indonesia, masih banyak yang kurang sadar dengan penyakit ini. Mayorita kasus kanker payudara terdeteksi saat telah memasuki stadium lanjut. Hal tersebut diungkapkan oleh Endang Lukitosari, Ketua Kerja Kanker, Kemenkes RI, di kesempatan yang sama.
“Permasalah lain yang kita juga lihat bahwa 70 persen kasus kanker datangnya sudah stadium lanjut,” katanya.
Persentase Penderita Bertahan Hidup Masih Rendah Dibandingkan Negara Lain
Kondisi tersebut menyebabkan angka bertahan hidup setelah diagnosis kanker payudara di Indonesia (kesintasan) dalam lima tahun terakhir rendah dan masih tertinggal dari negara tetangga.
“Kesintasan pasien kanker payudara di Indonesia menjadi tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia, negara-negara tetangga lainnya,” ungkap Endang.
Endang menambahkan, angka kesintasan kanker payudara di Indonesia berada pada kisaran angka 56 persen, tertinggal jauh dengan negara maju yang telah menunjukkan angka hampir sempurna, yaitu 90 persen.
“Bahkan India sudah 66 persen tapi kita masih menang karena Afrika Selatan baru 40 persen,” lanjut Endang.
Selain itu, Nadia juga turut menyoroti adanya perubahan tren kanker payudara, yang mana sebelumnya usia penderita payudara berada pada kisaran 40-an kini tren usia semakin muda.
“CISC (Cancer Information and Suppor Center) itu menemukan sekarang sudah banyak pasien kanker payudara usia 18 tahun. Jadi bergeser ke usia muda ya kan,” ujarnya,
Lebih lanjut, Nadia menjelaskan bahwa pergeseran tren tersebut bisa disebabkan karena perubahan perilaku maupun faktor lingkungan.
“Kenyataannya kanker payudara itu bukan hanya di usia 40 tahun ke atas, tapi juga bergerak ke usia 18, 25, 23,” ungkap Nadia.
Kurangnya Kesadaran Berakibat Fatal
Endang menekankan, banyaknya kasus kanker payudara yang ditemukan saat stadium lanjut salah satunya disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat, cakupan skrining yang masih rendah.
Selain itu, masalah lainnya datang dari layanan kesehatan. Menurut Endang akses layanan kesehatan masih belum merata.
“Kalau semua puskesmas, semua layanan tingkat pertama melakukan deteksi dini, barangkali menemukan stage awal lebih cepat sehingga tata laksananya bisa lebih cepat, sehingga kematian bisa ditekan,” jelas Endang.
Lebih lanjut, Endang menyebut, upaya telah dilakukan untuk mendorong pembenahan di tingkat puskesmas, agar setiap puskesmas bisa melakukan skrining untuk kanker payudara.
“Kita melihat kebutuhan bahwa setiap provinsi itu harus minimal memiliki satu rumah sakit tingkat paripurna, kemudian setiap kabupaten/kota minimal harus ada satu rumah sakit tingkat madya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Cosphiadi Irawan mengatakan, keterlambatan diagnosis dan pengobatan menjadi hambatan serius bagi penanganan kanker payudara di Indonesia
Ia menyebut, masalah denial serta rasa ketakutan akan diagnosis penyakit yang masih tertanam masyarakat menyebabkan masalah yang lebih serius dan bisa berakibat fatal.
“Masalah memang knowledge-nya terbatas dan lain sebagainya. Yang akhirnya kita berhadapan dengan 28-70 persen late stage, akhirnya ada kemo-kemo dan seterusnya,” jelas Cosphiadi.