Ambisi menguasai Tanah Papua yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) telah tertanam kuat jauh sebelum jajak pendapat atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Indonesia memiliki motivasi yang tampak dalam beragam sejarah dan peristiwa yang dialami oleh Orang Asli Papua (OAP), yang merasa tanah dan kekayaan alamnya dijarah. Sementara, masyarakat asli hidup penuh penderitaan, miskin, dan tersingkir.
Kehidupan OAP yang buruk tersebut terjadi karena penguasaan atas wilayah Papua dengan pendekatan militeristik. Akibatnya, mereka selama bertahun-tahun hidup dalam ketidakberdayaan diberbagai aspek: politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.
Kolonialisme, misalnya, terus berkembang di Tanah Papua karena dukungan kapitalisme. Wilayah Papua yang kaya raya menjadi motivasi utama penguasaan bangsa Papua yang ditopang Amerika Serikat.
Praktik politik kapitalisme tingkat tinggi tersebut telah memakan korban para tokoh penting, antara lain: Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarkskjold yang tewas dalam misinya di Kongo pada 17/18 September tahun 1961, Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, tewas ditembak oleh Lee Harvey Oslwald pada 22 November 1963, dan Presiden Ir Soekarno yang dilengserkan pada tahun 1965 dengan tuduhan mendukung komunis.
Ketiga pemimpin tersebut menjadi korban karena dianggap menghambat upaya-upaya penguasaan kekayaan alam Papua. Para pemilik modal dengan cepatnya membuat perjanjian kontrak kerja antara PT Freeport McMoran dengan Soeharto pada 7 April 1967 untuk tambang dan uranium di Namangkawi/Ndugu-Ndugu (Tembagapura) Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Melalui Pepera 1969, perjanjian kontrak kerja ini dibuat dua tahun sebelum Papua masuk kedalam wilayah Indonesia dan dilakukan dengan tekanan tentara serta senjata.
Setelah itu, korban-korban dalam pertarungan perebutan SDA di Papua—terutama di areal tambang Freeport—terus berjatuhan. Konflik dan kekerasan terus terjadi serta memakan banyak korban dari berbagai pihak.
Peristiwa penembakan di Kuala Kencana pada 30 Maret 2020 yang menewaskan Graeme Thomas Wall, seorang kebangsaan Selandia Baru dan melukai beberapa orang bukan peristiwa baru. Kekerasan kemanusiaan ini merupakan peristiwa pengulangan seperti yang terjadi di banyak kasus serupa sebelumnya.
Kehadiran Freeport di gunung emas ini sebagai simbol kekerasan, kejahatan, dan tragedi kemanusiaan. Yang menjadi korbannya ialah pemilik tanah, rakyat sipil, karyawan Freeport, dan juga aparat keamanan yang bertugas di Tembagapura.
Sayang sekali, dalam dinamika spiral kekerasan seperti ini, sudah lama rakyat Papua dan komunitas global menjadi korban kejahatan kebohongan dengan mendapat informasi dari media yang dikontrol penguasa Indonesia. Ada konspirasi ekonomi dan politik yang menggunakan kekerasan keamanan di areal pertambangan emas di Tembagapura dan di seluruh Tanah Papua, dari Sorong hingga Merauke.
Rezim kekuasaan otoriter Soeharto selama 32 tahun menggunakan kekuatan TNI untuk menjaga dan melindungi PT Freeport—Rio Tinto (PTFI), perusahaan tambang emas raksasa dunia milik Amerika Serikat.
Sebelum ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan POLRI, wilayah pertambangan emas terbesar ketiga di dunia ini jarang terjadi penyerangan dan penembakan terhadap warga sipil karyawan PT Freeport. Setelah Undang-Undang pemisahan TNI—Kepolisian disahkan, peran TNI di Freeport ditarik dan digantikan dengan Kepolisian untuk melindungi dan menjaga keamanan PT Freeport.
Namun, perubahan ini tetap memunculkan kekerasan dan aksi penembakan, yang pelakunya diduga para pihak yang menguasai senjata di areal tambang Freeport. Peristiwa yang sempat kontroversi terjadi ketika penembakan warga negara Amerika Serikat dan Indonesia pada 31 Agustus 2002 diungkapkan oleh Global Witness dalam laporan berjudul “Uang Keamanan Freeport dan Aparat Keamanan Indonesia”.
Tokoh Gereja Korban Kekerasan
Tak sedikit tokoh-tokoh Gereja ataupun petugas Gereja yang menjadi korban konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua. Peristiwa di Nduga, Puncak Jaya, dan Intan Jaya, serta di tempat lainnya, menunjukkan bahwa operasi militer sungguh kejahatan yang nyata.