Dua pekan lagi, pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto akan memasuki usia tahun pertamanya; masih ada empat tahun tersisa. Dua pekan lagi, waktu yang baik untuk melakukan evaluasi sekaligus koreksi. Ada prinsip sederhana dalam ilmu manajemen: do not fix unbroken things, but, there is always room for improvement. Jangan perbaiki hal yang tidak rusak, jangan mencari-cari kesalahan, tetapi selalu ada ruang perbaikan.
Indonesia adalah tubuh yang satu. Ketika muncul satu saja "bisul", sakitnya bisa dirasa seluruh tubuh. “Bisul” itu bisa berupa cacatnya demokrasi, politik yang tuna-etik, KKN yang mewabah, lumpuhnya hukum, kerusakan ekologi, ketimpangan ekonomi, hingga bahaya otoritarianisme yang menghantui. Mari berterus terang, jangan terus berputar-putar dalam kubangan eufimisme yang dapat menjerumuskan. Dengan jujur harus kita akui, "bisul-bisul" di atas memang mengepung hidup warga negara dan bertebaran seperti alarm darurat. Untuk mengatasinya, akar atau biangnya harus dicari karena obat salep untuk permukaan tak lagi mempan.
Tugas Pokok Pengurus Negara
Konsep “Pengurus Negara” memberi pesan sekaligus alasan pokok bahwa para pemimpin publik sejatinya adalah para pekerja “empat proyek bernegara”—sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia, 2) mencerdaskan kehidupan bangsa, 3) memajukan kesejahteraan umum, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Harus terus diinsafi bahwa rakyat (pembayar pajak) adalah "Si Tuan", pemilik kedaulatan satu-satunya; sedangkan para pemegang otoritas (baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) adalah pengurus negara. Tugas pokok para pengurus negara adalah mengayomi, melindungi, dan melayani tuannya, yaitu rakyat! Jadi, jika kinerja dan perilaku pengurus negara melenceng—bahkan malah melawan tugas pokok itu—satu-satunya "Si Tuan" (rakyat atau warga negara) wajiblah menegur. Kala imbauan dan nasihat sudah makin tidak bertaji, peluit harus ditiup, kartu kuning harus diangkat, bahkan bila perlu kartu merah. Begitulah seharusnya kepatutan bernegara.
Bila simtom demi simtom diteliti, lalu ditelusuri apa atau di mana sumbernya; boleh jadi salah satu akar persoalan bangsa kita adalah absennya kepemimpinan sejati (intrinsic leadership) berikut keteladanan moralnya. Selama satu dekade, terjadi kemerosotan moralitas kepemimpinan negara. Era demokrasi yang dihasilkan oleh gerakan reformasi 1998 telah dikorupsi dan dimanipulasi. Para pemimpin tidak lagi menampilkan sisi luhur pengurus negara.
Sebaliknya, mereka mengumbar keserakahan demi diri dan keluarganya, seperti tak mengenal kata cukup. Sebagian elite politik berperilaku seperti boleh melakukan apa saja ketika berkuasa, seolah kekuasaan tak ada batasnya. Kekuasaan diurus seperti aset pribadi, asyik-masyuk saling melayani antarkerabat dan sahabat, lupa tugas melayani rakyat. Tak berhenti sampai di situ. Idealisme, moralitas, dan usaha untuk menjaga kelurusan cara bernegara menjadi bahan tertawaan, ditekan, bahkan mengalami perundungan. Tentunya, hal tersebut dapat dikatakan jahat, bukan?
Waktu Tersedia, Mulai dari Hal Sederhana
Saat ini kita telah berada di titik waktu yang menentukan: tiga tahun menjelang seabad Sumpah Pemuda dan dua dekade menuju seabad kemerdekaan. Sayangnya, dalam sisa waktu yang pendek ini, cita-cita para Ibu dan Bapak Bangsa yang ditorehkan dalam naskah Sumpah Pemuda, naskah Proklamasi, dan Konstitusi UUD 1945, sedang mengalami ujian berat. Rasa saling percaya warga—terutama kepercayaan rakyat pembayar pajak kepada para pengurusnya—mengalami defisit. Besarnya otoritas yang diberikan kepada para pengurus negara tak ditopang oleh legitimasi berbasis moralitas.
Maka, satu-satunya cara yang harus ditempuh untuk membangun kepercayaan rakyat adalah dengan mengembalikan kepemimpinan moral, mengembalikan nilai-nilai luhur dalam kepengurusan negara. Lalu, bagaimana caranya? Tentunya, hal tersebut tak perlu dibahas berbusa-busa. Rakyat pun banyak yang tahu, tentunya mereka yang berada di tribun kekuasaan. Mulailah dari yang sederhana: bersikap jujur dan berhenti mencuri. Percayalah, sikap jujur dan berhenti mencuri akan menyelesaikan banyak hal. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita semua.
Penulis: Sudirman Said, Rektor Universitas Harkat Negeri, salah satu pemrakarsa Forum Warga Negara.