Liputan6.com, Jakarta Nyeri haid sering dianggap wajar oleh banyak perempuan. Namun, tidak semua keluhan saat menstruasi dianggap normal. Menurut dokter spesialis kebidanan dan kandungan subspesialis fertilitas dan hormon reproduksi, Caroline Tirtajasa, ada kondisi tertentu yang justru mengindikasikan penyakit serius yakni endometriosis.
Dokter yang praktik di RS EMC Pulomas itu mengatakan nyeri haid yang normal yaitu nyeri yang masih bisa ditoleransi tanpa perlu mengonsumsi obat. Sebaliknya, nyeri haid yang disebabkan oleh penyakit memiliki pola berbeda.
“Kriteria nyeri haid yang patologis pada endometriosis adalah nyeri haid yang tiap kali membutuhkan obat pereda nyeri, dan sampai mengganggu aktivitas,” ujarnya dalam acara launching buku berjudul Endometriosis pada Jumat, 19 September 2025 di Gramedia Matraman Jakarta.
Lebih lanjut, Caroline menambahkan bahwa rasa sakit yang muncul berulang dengan intensitas tinggi sebaiknya tidak diabaikan.
“Untuk anak perempuan, apalagi kalau setiap haid selalu minta obat pereda nyeri, itu harus diwaspadai,” katanya.
Di kesempatan yang sama, selebritis Melaney Ricardo, salah satu penyintas endometriosis mengatakan rasa sakitnya tidak hilang hanya dengan konsumsi pereda nyeri.
“Rasanya itu kalau bisa digambarkan seperti kayak ada aku sebelah kiri kan. Kayak dikasih pisau belati kayak diseset-seset gitu loh. Sampai makan pain killer pun rasanya kadang-kadang udah ngga nolong,” jelasnya.
Mitos Nyeri Haid
Selama ini mitos terkait kesehatan perempuan masih banyak beredar di masyarakat, misalnya nasihat bahwa nyeri haid akan hilang setelah menikah.
Padahal, nyeri haid yang sangat parah bisa menjadi tanda penyakit endometriosis. Sehingga, bila nyeri dibiarkan yang terjadi adalah telatnya penanganan.
Hal tersebut dialami oleh Ketua Komunitas Endometriosis Indonesia sekaligus pejuang endometriosis, Wenny Aurelia. Ia menyayangkan ketidaksadarannya bersama keluarga akan nyeri haid yang tidak normal kala itu.
Untuk itu ia ingin memberantas mitos-mitos tersebut dalam komunitas. Minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi membuat Wenny baru memeriksakan diri setelah 5 tahun.
“Saya sudah 26 tahun bersama endometriosis. Banyak hoax bilang akan sembuh setelah menikah, tapi faktanya saya masih berjuang sampai sekarang,” katanya.
Melaney juga mengalami hal yang serupa, sejak pertama menstruasi, ia kerap merasakan sakit. Untuk meredakan rasa sakit, ibunya selalu memberi obat pereda nyeri dan menyebut rasa nyeri tersebut karena faktor keturunan.
“Dia bilang turunan. My mom juga sakit kalau menstruasi. Tapi, curah darahnya masih normal,” ujar Melaney.
Endometriosis: Penyebab Nyeri Haid Hebat
Endometriosis merupakan penyakit yang kerap disalahartikan hanya sebagai “nyeri haid biasa”. Kondisi ini terjadi ketika jaringan endometrium tumbuh di luar rahim dan bisa menyebabkan rasa sakit hebat, pendarahan tidak normal, hingga gangguan kesuburan.
Caroline menyebut, kondisi ini dapat ditandai dengan nyeri hebat pada saat menstruasi. “Nyeri haid yang tiap kali memburuhkan obat anti nyeri dan mengganggu aktivitas, itu sudah patologis,” ujarnya.
Banyak pasien yang tidak sadar menderita endometriosis karena gejalanya dianggap sebagai suatu hal yang “normal”. Padahal, penyakit ini disebut bisa memengaruhi kualitas hidup dan perlu segera ditangani.
Endometriosis perlu segera ditangani, baik melalui prosedur bedah maupun menggunakan obat-obatan. Bahkan, jika penyakit ini telah parah, prosedur angkat rahim mungkin diperlukan.
Selain nyeri haid yang parah, gejala endometriosis lainnya yang bisa muncul yakni nyeri panggul, pendarahan, nyeri saat berhubungan seksual, infertil atau sulit untuk hamil, dan rasa lelah yang tidak kunjung hilang setelah beristirahat.
Mengapa Mitos Reproduksi Perempuan Banyak Beredar?
Tidak jarang, narasi bahwa nyeri haid akibat endometriosis bisa dihilangkan dengan pernikahan keluar dari pernyataan dokter. Hal tersebut kerap membingungkan, pasalnya dokter merupakan orang yang kredibel untuk memberikan informasi kesehatan.
Menurut Caroline, tidak semua dokter sama, bahkan pernyataan dari dokter spesialis kebidanan dan kandungan pun berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jam terbang, kompetensi, dan pengalaman praktik.
Selain itu, Caroline mengatakan, mitos bisa beredar juga dikarenakan masyarakat masih menganggap tabu isu kesehatan reproduksi. Banyak masyarakat yang masih malu berdiskusi soal menstruasi, vagina, hingga keputihan.
“Ngomong itu bisik-bisik, ya kan, jangan sampai semua orang tahu, gitu ya. Nah bisik-bisik ini yang sering menimbulkan salah paham,” ujarnya.