Liputan6.com, Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah jadi sorotan setelah tercatat lebih dari 6 ribu anak mengalami gangguan pencernaan akibat dugaan keracunan massal. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan pihaknya menutup sementara sejumlah Satuan Penyelenggara Pemberian Gizi (SPPG) yang terbukti melanggar standar operasional prosedur (SOP).
"Dengan data yang saya bagikan, ini data terbaru yang dicetak tadi malam, SPPG per 1 Oktober 2025 ada 10.012. Di akhir September kita punya target 10.000, alhamdulillah ternyata melebihi target 12. Namun, di balik capaian itu, kasus keracunan menjadi sorotan utama," kata Dadan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Menurut Dadan, kasus keracunan massal tercatat sejak Januari 2025 dengan pola penyebaran di tiga wilayah besar. Secara keseluruhan, jumlah anak yang mengalami gangguan pencernaan mencapai lebih dari 6 ribu.
"Kalau dilihat dari sebaran kasus, tercatat di wilayah satu ada 1.307 orang. Wilayah dua ini sudah bertambah total 4.147 orang, kemudian di wilayah tiga ada 1.003 orang," tambahnya.
Pelanggaran SOP Jadi Pemicu Utama
Wilayah dua menjadi penyumbang kasus terbanyak. Di antaranya 15 anak di SPPG Cihampelas, Pasar Rebo, yang seluruhnya berasal dari satu kelas, serta 30 anak di Kadungora yang baru tercatat akhir September.
Sementara itu, wilayah satu dan tiga juga melaporkan ratusan hingga ribuan kasus sejak Februari hingga September 2025. "Di wilayah tiga tercatat ada 17 kasus sejak 13 Januari di Nunukan dengan 90 orang. Lalu 24 Januari di Ujung Bulu ada 4 orang. Bahkan yang terbesar di Banggai dengan jumlah 338 anak terdampak," ujar Dadan.
BGN menilai sebagian besar kasus keracunan dipicu kelalaian SPPG dalam mematuhi SOP, mulai dari pemilihan bahan baku hingga distribusi makanan.
"Kita bisa identifikasi bahwa kejadian rata-rata karena SOP tidak dipatuhi dengan seksama. Misalnya pembelian bahan baku yang seharusnya H-2, ada yang membeli H-4. Proses masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam, optimalnya 4 jam, tapi ada yang sampai 12 jam lebih," kata Dadan.
Standar Baru: Sertifikasi Higienitas dan Keamanan Pangan
Kondisi tersebut membuat risiko kontaminasi meningkat dan memperbesar potensi anak mengalami keracunan. Karena itu, BGN menegaskan penutupan sementara SPPG yang melanggar aturan dilakukan sebagai langkah korektif.
"Dari hal-hal seperti itu, kemudian kita memberikan tindakan kepada SPPG yang tidak mematuhi SOP dan menimbulkan kegaduhan, kita tutup sementara sampai semua proses perbaikan dilakukan," tambahnya.
Sebagai tindak lanjut, BGN memperketat aturan melalui sertifikasi khusus bagi seluruh SPPG. Sertifikasi ini bertujuan memastikan makanan yang disajikan kepada anak-anak benar-benar aman dan higienis.
"Kami sudah membuat peraturan keputusan kepala badan, terkait sertifikasi yang akan kita lakukan di SPPG, yaitu Sertifikasi Laik Higieni dan Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan. Selain itu, kami juga menerapkan sertifikasi keamanan pangan berupa HACCP dari Lembaga Independen," ujar Dadan.
Menurutnya, penerapan dua sertifikasi tersebut akan menjadi standar baru yang wajib dipenuhi penyedia layanan MBG.
Dengan demikian, seluruh penyelenggara tidak hanya berorientasi pada jumlah distribusi makanan, tapi juga pada kualitas dan keamanan pangan.
Langkah BGN ke Depan
BGN menargetkan seluruh SPPG yang masih aktif segera melakukan penyesuaian agar kejadian serupa tidak terulang.
Penyelenggara diwajibkan menjalani audit rutin, memperkuat pengawasan distribusi, serta memastikan rantai penyediaan makanan sesuai standar higienitas.
"Dengan adanya sertifikasi higienitas dan keamanan pangan, diharapkan seluruh SPPG dapat benar-benar menjamin makanan yang disajikan aman dan sehat untuk anak-anak penerima manfaat," pungkas Dadan.