Liputan6.com, Tokyo - Tokyo di akhir September 2025 terasa berbeda. Bukan hanya karena langit musim gugur yang mulai teduh, tetapi juga karena ratusan psikiater, peneliti, dan praktisi kesehatan jiwa dari berbagai belahan dunia berkumpul dalam Joint Congress PRCP (Pacific Rim College of Psychiatrists) dan WACP (World Association of Cultural Psychiatry).
Sebagai seorang psikiater dari Indonesia, saya merasa berada di simpang jalan ilmu dan budaya --- tempat di mana sains bertemu dengan kearifan lokal. Sejak sesi pembukaan, sudah terasa jelas arah besar pertemuan ini: kesehatan jiwa tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya.
Profesor Helen Herrman dari Melbourne membuka dengan refleksi tentang pentingnya pendekatan lintas budaya, berbasis hak asasi manusia, dan kolaborasi global dalam memajukan kesehatan mental.
Baginya, promosi kesehatan jiwa bukan hanya soal obat atau terapi, tetapi juga bagaimana nilai, kepercayaan, dan tradisi masyarakat memberi ruang bagi pemulihan.
Budaya dalam Psikoterapi dan Spiritualitas
Salah satu simposium yang menyedot perhatian adalah 'Cultural Adaptations of Psychotherapies'. Delegasi dari Filipina, Malaysia, Singapura, hingga Maroko berbagi pengalaman bagaimana psikoterapi Barat perlu 'dijahit ulang' agar pas dengan nilai kolektivisme Asia, keyakinan agama, maupun norma lokal.
Di Malaysia, misalnya, residen psikiatri belajar menyesuaikan terapi berbasis bukti dengan sensitivitas budaya pasien. Dari Singapura, ada pengalaman integrasi agama dan spiritualitas ke dalam sesi terapi --- bukan untuk menggantikan ilmu medis, tetapi agar pasien merasa lebih diterima.
Racun Tak Kasat Mata sebagai Penyebab Sakit
Di ruang lain, sebuah sesi 'Remodelling Religious Remedies' menghadirkan antropolog dari Jepang, Taiwan, dan Thailand yang meneliti praktik penyembuhan tradisional: dari qi-gong bagi pasien kanker, ritual roh di Taiwan, hingga pengobatan tradisional Thailand yang memandang 'racun tak kasat mata' sebagai penyebab sakit.
Sekilas terdengar mistis, tetapi penelitian ini membantu kita memahami mengapa sebagian masyarakat lebih percaya pada dukun daripada psikiater, dan bagaimana jembatan bisa dibangun antara dua dunia itu.
Imigrasi, Identitas, dan Luka Budaya
Isu lain yang hangat adalah migrasi. Dalam simposium lintas negara, dibahas bagaimana hubungan orangtua-anak dalam keluarga imigran sering renggang karena hilangnya bahasa bersama atau perbedaan nilai budaya.
Seorang pembicara dari Jepang menceritakan anak-anak Latin Amerika yang tumbuh di Tokyo tapi kehilangan akar bahasa ibunya. Di Amerika Serikat, psikiater menghadapi keluarga imigran yang bingung menjaga identitas tanpa tercerabut dari budaya baru.
Semua ini memperlihatkan: kesehatan jiwa bukan hanya urusan individu, tetapi juga lintas generasi dan lintas bahasa.
Asia Pasifik: Dari Pasung hingga Hikikomori
Konteks Asia menampilkan wajah yang sangat beragam. Dari Indonesia, dipaparkan penelitian tentang persepsi pemimpin agama terhadap 'pasung' --- praktik mengurung pasien gangguan jiwa.
Hasilnya menunjukkan betapa kuatnya peran tokoh agama dalam mengubah cara masyarakat memperlakukan pasien.
Sementara itu, Jepang menyoroti fenomena hikikomori, remaja yang mengurung diri di kamar selama bertahun-tahun, yang kini mulai dianggap masalah global. Korea, Singapura, dan Italia ikut menambahkan pengalaman intervensi digital dan kebijakan publik.
Seni, Kematian, dan Makna Hidup
Uniknya, kongres ini tidak hanya bicara obat dan terapi kognitif. Ada sesi yang membahas seni sebagai jalan pemulihan trauma --- dari sand play therapy di Jepang hingga proyek fotografi di Meksiko.
Bahkan, ada simposium tentang konsep kematian dalam budaya: bagaimana orang Jepang hidup bersama kenangan leluhur, atau bagaimana lonjakan bunuh diri memaksa kita meninjau ulang makna hidup-mati dalam konteks budaya tertentu.
Refleksi untuk Indonesia
Mengikuti kongres ini membuat saya semakin yakin: psikiatri tidak bisa sekadar mengimpor teori Barat lalu dipaksakan begitu saja di Asia.
Masyarakat kita punya cara sendiri memandang jiwa, penyakit, dan kesembuhan. Di Indonesia, peran keluarga besar, agama, dan komunitas sangat kuat. Maka, alih-alih menyingkirkan unsur budaya, kita perlu merangkulnya sebagai pintu masuk layanan kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa adalah pertemuan antara otak, hati, dan budaya. Di Asia Pasifik, dengan keragaman luar biasa dari Pasifik Selatan hingga Asia Tenggara, kita sedang belajar bersama: bagaimana membumikan ilmu psikiatri agar menyapa manusia seutuhnya.
Dan dari Tokyo, saya membawa pulang pelajaran penting: budaya bukan hambatan dalam pengobatan --- ia adalah bagian dari terapi itu sendiri.
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan rangkuman sesi presentasi dan abstrak resmi PRCP & WACP Joint Congress 2025, Tokyo, 25–28 September 2025.