Liputan6.com, Jakarta - Di Indonesia, pembahasan tentang gangguan jiwa tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya dan religius yang hidup di tengah masyarakat. Hal ini kembali ditegaskan dalam presentasi Dr. Sak Liung, psikiater dari RS Panti Rapih Yogyakarta, yang dipaparkan pada sesi presentasi di acara Joint Congress of PRCP (Pacific Rim College of Psychiatrists) dan WACP (World Association of Cultural Psychiatry) pada tanggal 25 s.d 28 September 2025 di Tokyo, Jepang.
Sebagai latar belakang, PRCP didirikan pada tahun 1980 sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu kesehatan jiwa di kawasan Pasifik. Selama lebih dari empat dekade, PRCP telah menjadi wadah kolaborasi riset antarpsikiater muda, serta memajukan berbagai inisiatif untuk meningkatkan kesehatan jiwa di negara-negara berkembang.
Tahun 2025 ini menjadi momentum istimewa karena menandai kongres ke-21 PRCP, yang untuk pertama kalinya digelar bersama dengan WACP, sebuah asosiasi global yang menaruh perhatian besar pada dimensi budaya dalam psikiatri.
Pasung: Luka Sosial yang Masih Menganga
Kita sering mendengar istilah pasung, yaitu tindakan mengurung, merantai, atau mengikat orang dengan gangguan jiwa. Walaupun pemerintah sudah lama mencanangkan program 'Indonesia Bebas Pasung', faktanya masih ada keluarga yang melakukan praktik ini.
Alasannya beragam: takut pasien membahayakan orang lain, keterbatasan akses pengobatan, hingga keyakinan tertentu yang melihat gangguan jiwa sebagai 'kutukan' atau 'gangguan supranatural'.
Dr. Sak Liung menekankan bahwa pasung bukan hanya masalah medis, tapi juga masalah sosial, kultural, dan religius. Di masyarakat Indonesia, tokoh agama memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan bagaimana keluarga memperlakukan anggota mereka yang mengalami gangguan jiwa.