Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat bahwa angka bertahan hidup pasien kanker payudara (kesintasan) di Indonesia dalam lima tahun terakhir masih rendah dan tertinggal dari negara Asia lainnya.
"Di Indonesia angka kesintasan 5 tahun ini masih berkisar pada 56 persen-an dibandingkan dengan negara maju yang sudah 90 persen. Bahkan, India sudah 66 persen tapi kita masih menang karena Afrika Selatan baru 40 persen," kata Ketua Kerja Kanker Kemenkes RI, Endang Lukitosari, dalam acara 'Forum Jurnalis Kesehatan 'Menurunkan Beban dan Angka Kematian Akibat Kanker Payudara: Strategi, Aksi Kolaborasi' pada Senin, 29 September 2025.
Selain itu, Endang juga menyebut bahwa kesadaran masyarakat akan skrining masih rendah. Meskipun tren skrining disebut telah menunjukkan peningkatan, tetap hanya sebagian kecil perempuan di Indonesia yang melakukan skrining kanker payudara.
"Angkanya masih kurang dari 30 persen wanita melakukan skrining. Artinya, sebenarnya backlog kita 70 persen paling tidak semua wanita di Indonesia pernah melakukan skrining terhadap kanker payudara ini," ujarnya.
Mengapa Tingkat Survival Rate-nya Masih Rendah?
Menurut Endang, permasalah ini datang dari beberapa sisi. Hal pertama, karena penyakit ini kerap terdeteksi setelah stadium lanjut yang disebabkan oleh fakta cakupan skrining kanker payudara yang masih rendah.
Selain itu, masih banyak puskesmas yang belum menetapkan prosedur deteksi dini kanker payudara, yang membuat kondisi ini semakin serius.
"Artinya apa? Artinya kalau semua puskesmas, semua layanan tingkat pertama melakukan deteksi dini, barangkali menemukan stage awal lebih cepat sehingga tata laksananya bisa lebih cepat, sehingga kematian bisa ditekan," ujar Endang.
Sejalan dengan Endang, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi menyebut, tingkat kematian akibat kanker payudara bisa ditekan dengan melakukan deteksi dini.
"Angka payudara sebenarnya kalau ditemukan dari stadium dini itu bisa angka survival-nya itu mencapai lebih dari 90 persen," katanya.
Mengapa Angka Kanker Payudara di Indonesia Tetap Tinggi?
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), pada tahun 2022 mencatat, sebanyak 66.271 kasus baru kanker payudara, dengan tingkat kematian berada pada angka 22.298. Angka tersebut menjadikan penyakit ini berada pada urutan pertama sebagai penyakit paling banyak diderita perempuan.
“Kenapa kok bisa terbanyak? Karena memang kita menemukannya sudah stadium yang lanjut, akhirnya kita perlu melihat kembali bahwa ternyata cakupan skrining masih rendah. Ini ternyata permasalahan yang serius,” jelas Endang.
Lebih lanjut ia menyebut, tingginya angka kanker payudara di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi penanganan yang terlambat, cakupan skrining yang masih rendah, tidak semua puskesmas menerapkan program deteksi dini, hingga layanan paliatif yang masih rendah.
Layanan paliatif merupakan perawatan medis khusus untuk meningkatkan kualitas hidup pasien atau keluarga pasien untuk mengurangi gejala fisik maupun psikologis.
“70 persen kasus kanker datangnya sudah stadium lanjut dan juga waktu tunggu yang panjang sejak didiagnosis sampai mendapatkan terapi definitif ini perlu waktu yang lama yang kemudian menyebabkan tata laksana tertunda,” jelasnya.
Endang menekankan, keterlambatan mencari pertolongan dan tata laksana bepengaruh pada perkembangan kanker dan angka kesintasan (bertahan hidup).
Upaya Pembenahan
Lebih lanjut, Endang menyebut, akses layanan kesehatan belum merata. Menurutnya, upaya telah dilakukan untuk mendorong pembenahan di tingkat puskesmas, agar setiap puskesmas memiliki bisa melakukan skrining untuk kanker payudara.
“Kita melihat kebutuhan bahwa setiap provinsi itu harus minimal memiliki satu rumah sakit tingkat paripurna, kemudian setiap kabupaten/kota minimal harus ada satu rumah sakit tingkat Madya,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Cosphiadi Irawan mengatakan, keterlambatan diagnosis dan pengobatan menjadi hambatan serius bagi penanganan kanker payudara di Indonesia
Ia menyebut, masalah denial serta rasa ketakutan akan diagnosis penyakit yang masih tertanam masyarakat menyebabkan masalah yang lebih serius dan bisa berakibat fatal.
“Masalah memang knowledge-nya terbatas dan lain sebagainya. Yang akhirnya kita berhadapan dengan 28-70 persen late stage, akhirnya ada kemo-kemo dan seterusnya,” jelas Cosphiadi.