Liputan6.com, Jakarta - Maraknya kasus keracunan hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai daerah membuat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) prihatin.
Organisasi yang diketuai dokter anak Piprim Basarah Yanuarso menilai, program MBG sejatinya bertujuan mulia untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan anak Indonesia. Namun, kejadian keracunan ini terus berulang yang justru menimbulkan risiko serius bagi keselamatan anak.
Dalam surat terbuka untuk Badan Gizi Nasional (BGN), IDAI menegaskan bahwa:
- Keselamatan anak dan kelompok rentan adalah prioritas utama. Anak, balita, dan ibu hamil merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi dari risiko keracunan makanan.
- Keamanan pangan harus diutamakan. Proses penyediaan, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi makanan wajib mengikuti standar keamanan pangan (food safety) untuk mencegah kontaminasi.
- Kualitas gizi dan keseimbangan menu perlu dijamin. Menu MBG seyogyanya disusun oleh ahli gizi anak dengan memerhatikan kebutuhan nutrisi anak untuk mendukung tumbuh kembang optimal.
- Pengawasan harus diperketat. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) beserta seluruh kelengkapannya harus tersertifikasi dan senantiasa dimonitor serta dievaluasi oleh Badan Gizi Nasional.
- Prosedur mitigasi dan layanan aduan kasus keracunan harus disiapkan dalam program MBG. Perlu disiapkan prosedur mitigasi kasus keracunan melibatkan pemerintah, sekolah, dokter spesialis anak, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Pemberdayaan layanan aduan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang ada.
Maraknya kasus keracunan makan bergizi gratis, membuat orang tua khawatir. Sebagian memilih membawakan anaknya bekal, meski MBG dibagikan di sekolah.
Perlu Evaluasi Menyeluruh
Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Piprim Basarah Yanuarso, mengatakan bahwa satu anak keracunan saja sudah menjadi masalah. Apalagi ini terjadi pada ribuan anak di Indonesia.
“Diperlukan evaluasi secara menyeluruh atas program ini dan memastikan program yang sedang berjalan itu tepat sasaran terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) di Indonesia,” kata Piprim dalam keterangan pers, Minggu (28/9/2025).
Sedangkan, sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, Hikari Ambara Sjakti, menyampaikan, IDAI siap bekerja sama dan berkolaborasi dengan pemerintah.
Pihaknya juga menyatakan siap bekerja sama dengan sekolah, dan masyarakat untuk memastikan program MBG benar-benar memberikan manfaat kesehatan, gizi, dan masa depan yang lebih baik bagi anak Indonesia.
Bukan Sekadar Transfer Pangan
Keamanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang menjadi hal yang amat krusial. Pasalnya, setiap hidangan akan dikonsumsi oleh anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non-PAUD.
“MBG bukan sekedar transfer pangan, akan tetapi bertujuan untuk memperbaiki kondisi gizi pada fase paling kritis dalam kehidupan, sehingga memberikan imbas jangka panjang pada kualitas sumber daya manusia (SDM),” kata Perencana Ahli Madya/Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, Ni Made Ari Listiani, dalam keterangan lain.
Dia menyoroti MBG bagi ibu menyusui (busui), ibu hamil (bumil), dan bawah lima tahun (balita) atau B3. Menurutnya, intervensi gizi yang tepat di masa kehamilan dan dua tahun pertama kehidupan (1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK) amatlah penting. Yakni untuk memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak—yang akhirnya berdampak pada kemampuan belajar, pencapaian pendidikan, dan produktivitas ekonomi saat dewasa.
Maka, program MBG dengan sasaran B3 menjadi sebuah investasi pembangunan manusia, bukan hanya soal pengeluaran sosial.
“Agar MBG benar-benar menjadi investasi, pelaksanaannya harus aman dan berkualitas: standar gizi menu, keamanan pangan, rantai pasok yang andal, serta monitoring hasil (outcome gizi dan kesehatan),” katanya.