Liputan6.com, Jakarta Ketua Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Terapi Intensif Anak (UKK ETIA) IDAI, Dr. Yogi Prawira, SpA, Subs ETIA(K) mengatakan keracunan makanan adalah suatu penyakit yang disebabkan konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bisa terkontaminasi bakteri, virus, racun, paparan kimia atau bahan logam hingga parasit.
Berdasarkan riset BPOM tahun 2024, tercatat ada 1.164 kasus keracunan obat dan makanan.
“Mayoritas kasus diakibatkan oleh makanan dan minuman, dengan usia terbanyak pada remaja di atas 12 tahun yang mendekati hampir 43 persen,” jelas Yogi.
Keracunan makanan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari bakteri, virus, parasit, hingga zat kimia atau logam berbahaya. Kontaminasi bisa terjadi pada makanan yang tidak diolah dengan baik atau disimpan sembarangan.
“Penyebab keracunan ada cukup banyak, salah satunya bakteri, virus, parasit, maupun bahan kimia tertentu,” katanya dalam media briefing pada Kamis, 25 September 2025.
Gejala Keracunan Makanan
Gejala keracunan makanan biasanya muncul sebagai respons alami tubuh untuk melawan kontaminasi.
“Secara prinsip, tubuh kita punya mekanisme pertahanan. Sehingga saat ada asupan makanan atau minuman yang terkontaminasi, tubuh akan memberi respons dengan mual, muntah, nyeri perut, buang air besar cair, bahkan berdarah,” tambah Yogi.
Selain gejala di saluran pencernaan, keracunan juga bisa menimbulkan tanda lain yang lebih spesifik.
“Bukan hanya di saluran pencernaan saja, bisa timbul demam, nyeri kepala, hingga pandangan kabur. Ini gejala-gejala spesifik untuk keracunan tertentu,” tambahnya.
Dehidrasi Jadi Komplikasi Berbahaya
Dehidrasi menjadi risiko serius yang sering menyertai keracunan makanan pada anak. Kehilangan cairan akibat muntah dan diare bisa menyebabkan kondisi memburuk bila tidak segera ditangani.
Menurut Yogi, tanda dehidrasi harus diperhatikan dengan seksama. “Yang harus kita waspadai tanda-tanda dehidrasi karena dengan adanya muntah dan diare, anak ini akan berisiko mengalami kekurangan cairan,” ungkapnya.
Gejala dehidrasi dapat dikenali dari mulut kering, kehausan terus-menerus, berkurangnya frekuensi buang air kecil, serta warna urine yang lebih pekat. Anak juga tampak lemas dan kurang berenergi.
Jika kondisi ini tidak segera ditangani, dehidrasi bisa memicu komplikasi yang lebih parah, termasuk gangguan kesadaran.
Faktor Penyebab yang Sering Diabaikan
Keracunan makanan tidak selalu disebabkan oleh hal-hal besar, justru sering muncul akibat kebiasaan sehari-hari yang dianggap sepele. Makanan yang tidak dimasak dengan benar, penyimpanan yang tidak sesuai, hingga air minum yang tidak diolah bisa menjadi pintu masuk bakteri dan virus berbahaya.
“Keracunan pada anak sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, baik data di luar negeri atau di Indonesia,” jelas Yogi.
Ia menyebutkan bahwa penyebabnya cukup beragam, mulai dari Salmonella, E. coli, Rotavirus, hingga parasit seperti Giardia lamblia.
Bahkan, bahan kimia dan logam berat seperti timbal atau merkuri juga bisa mencemari makanan. Hal-hal inilah yang membuat orang sering tidak sadar bahwa keracunan bisa datang dari sumber-sumber yang tampak biasa.
Gejala yang Tidak Boleh Dianggap Remeh
Gejala keracunan makanan tidak boleh disepelekan karena dapat berkembang cepat dan berbahaya. Awalnya bisa berupa mual, muntah, atau diare biasa, namun dalam kondisi tertentu gejala ini bisa semakin parah.
Yogi juga menjelaskan, dalam kasus tertentu juga bisa terjadi kelemahan anggota gerak atau kesemutan. Gejala ini menjadi tanda adanya racun atau kontaminasi yang lebih serius. Orangtua atau pendamping anak harus segera membawa ke fasilitas kesehatan bila gejala memburuk.
Penanganan yang terlambat bisa menyebabkan komplikasi berbahaya, bahkan mengancam nyawa. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap tanda awal sangat penting agar anak bisa mendapatkan pertolongan tepat waktu.