
PAKAR elektoral dan tata kelola pemilu dari Universitas Airlangga, Kris Nugroho menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu berbasis kodifikasi harus dibangun secara paralel dengan pembenahan sistem kepartaian di Indonesia.
Menurut Kris, perbaikan sistem pemilu tidak akan efektif jika tidak diikuti oleh penguatan kelembagaan partai politik sebagai pilar utama demokrasi.
“RUU Pemilu dengan konsep kodifikasi itu harus paralel dengan ketentuan dalam undang-undang pemilu terkait syarat pencalonan. Ini harus selaras dengan pembenahan masalah internal partai, seperti kaderisasi, keanggotaan, pembiayaan, dan keuangan partai politik,” ujar Kris dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan, Rabu (8/10).
Kris menilai, penguatan regulasi tentang partai politik harus ditegaskan secara eksplisit dalam RUU Pemilu agar partai memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mencerdaskan pemilih dan menjaga integritas calon yang diusung.
“Bagian-bagian itu harus disempurnakan, bahkan diperkuat, dan dinyatakan sebagai satu kesatuan regulasi yang linear dengan syarat pencalonan. Dengan begitu, partai bisa berdaya dan memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan pemilih,” jelasnya.
Ia menambahkan, di balik rancangan kodifikasi UU Pemilu, terdapat harapan besar agar partai politik di Indonesia menjadi lembaga yang kuat, terstruktur, dan memiliki otoritas yang jelas dalam mengontrol proses elektoral dari awal pencalonan hingga pasca pemilihan.
“Saya membayangkan kita punya partai politik yang kuat, dengan koneksitas kelembagaan yang rapi dan otoritatif. Partai memiliki kemampuan untuk mengontrol setiap proses elektoral, dari pencalonan legislatif hingga saat kadernya duduk di parlemen,” tutur Kris.
Ia berharap RUU Pemilu yang sedang digodok dapat mengakomodasi kebutuhan untuk memperkuat partai politik sebagai institusi yang kredibel dan dipercaya publik, mengingat biaya penyelenggaraan pemilu yang semakin besar.
“Apalagi biaya pemilu terakhir mencapai sekitar Rp70 triliun. sangat besar untuk sebuah sistem yang masih rentan improvisasi,” ungkapnya.
Kris juga menyoroti praktik revisi regulasi yang kerap terjadi di tengah tahapan pemilu, yang menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam legitimasi dan sinkronisasi undang-undang pemilu.
“Dalam setiap tahapan pemilu sering muncul improvisasi dan revisi regulasi di tengah jalan. Ini menunjukkan adanya persoalan dalam legitimasi undang-undang induknya, sehingga implementasinya di bawah selalu berubah-ubah,” katanya.
Lebih lanjut, Kris juga menilai volatilitas elektoral masih menjadi tantangan besar bagi partai-partai politik Indonesia. Banyak partai besar kehilangan basis dukungan, sementara partai baru tumbuh cepat, tetapi hubungan antara pemilih dan partai masih bersifat dangkal.
“Volatilitas elektoral di Indonesia tinggi karena tidak ada kedekatan ideologis antara pemilih dan partai politik. Pemilih mudah berpindah dukungan dari satu partai ke partai lain karena mereka tidak memiliki pijakan kesadaran politik yang kuat,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi tersebut menandakan lemahnya ikatan emosional dan ideologis antara pemilih dan partai. Hal itu harus diperbaiki dengan penguatan sistem kepartaian yang lebih substantif dan konsisten.
“Ini yang harus dibangun oleh partai-partai kita untuk menghindari volatilitas politik. Masalah ini tidak hanya disebabkan oleh perilaku pemilih, tetapi juga oleh lemahnya sistem partai dan regulasi pemilu kita,” pungkasnya. (Dev/M-3)