KAUKUS Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA mendorong Universitas Indonesia mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap gugatan promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia.
Terhadap gugatan yang dilayangkan oleh Chandra Wijaya dan Athor Subroto itu, hakim memutus UI harus membatalkan Surat Keputusan Rektor UI soal sanksi etik yang dijatuhkan kepada kedua dosen pembimbing tugas akhir Bahlil ini.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
KIKA menilai putusan hakim tersebut berpotensi melegitimasi pelanggaran etik dalam proses meraih gelar akademik. "Kalau kampus UI merasa ini masih harus diperjuangkan, pelanggaran etika terhadap proses akademik harus dihukum, idealnya mengajukan banding atau bisa mempertimbangkan opsi kasasi di Mahkamah Agung," ujar Presidium KIKA Herdiansyah Hamzah saat dihubungi pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman ini menegaskan sebetulnya putusan hakim PTUN ini tidak otomatis membatalkan pelanggaran etik pada disertasi Bahlil. Putusan yang dikeluarkan hakim pada 1 Oktober 2025 itu hanya membatalkan proses administrasi Surat Keputusan Rektor mengenai sanksinya saja.
Adapun pelanggaran etik yang dirumuskan Dewan Guru Besar UI pada Januari lalu tetap sah. "Jadi jangan kemudian putusan PTUN ini disempitkan seolah-olah membatalkan dan menghilangkan kesimpulan yang sudah ditempuh guru besar bahwa ada pelanggaran etik di situ," ujar dia.
Terlepas dari itu, Herdiansyah menilai putusan PTUN ini janggal karena Dewan Guru Besar UI dengan jelas telah menyimpulkan bahwa ada pelanggaran dalam proses penyusunan disertasi Bahlil. Menurut dia, hakim semestinya berpijak pada keputusan tersebut.
Sebab, hakim sejatinya tidak memiliki kapasitas untuk menilai persoalan pelanggaran etik dalam lingkungan akademik. "Otoritas penuh untuk memandang, menentukan, dan melihat problem etika di dalam disertasi Bahlil ya institusi dalam UI, dalam hal ini Dewan Guru Besar yang kemarin sudah memutuskan," ujar Herdiansyah.
Untuk menjaga harkat dan martabat sivitas akademik, ia menambahkan, KIKA mendorong UI untuk melakukan perlawanan atas putusan PTUN ini dan mempertahankan sanksi yang telah dijatuhkan kepada para pelanggar.
Selain itu, Herdiansyah juga khawatir putusan ini dijadikan senjata untuk mendeletigimasi keputusan para Dewan Guru Besar UI ihwal sejumlah pelanggaran etik dalam disertasi Bahlil. "Maka saya kira ini mesti diperjuangkan," kata dia.
Polemik ini bermula ketika Bahlil dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor dari Universitas Indonesia dengan predikat cum laude usai menjalani Sidang Terbuka Promosi Doktor yang digelar oleh Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia, Depok, 16 Oktober 2024.
Judul disertasi yang diujikan adalah "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia." Saat itu, Bahlil menyelesaikan program doktoralnya kurang dari dua tahun, tepatnya 1 tahun 8 bulan.
Masa pendidikan yang singkat itu kemudian menuai sorotan dari para alumni UI, para akademikus, hingga warganet. Bahlil yang mampu menyelesaikan studi doktoralnya dalam waktu kurang dari dua tahun sangat mencolok jika dibandingkan dengan standar waktu yang ditetapkan oleh Peraturan Rektor UI tentang Penyelenggaraan Program Doktor.
Karena derasnya kritikan dan desakan dari masyarakat, Dewan Guru Besar UI lantas melakukan penelusuran. Pada 10 Januari 2025, Dewan Guru Besar menggelar sidang etik yang melibatkan 32 guru besar. Hasilnya, DGB UI mengumumkan ada pelanggaran etik dalam proses doktoral Bahlil.
Atas temuan tersebut, DGB UI memutuskan bahwa Bahlil Lahadalia harus menulis ulang disertasinya dengan topik baru sesuai standar akademik UI. Pada Maret 2025, Rektor UI Heri Hermansyah menindaklanjuti temuan tersebut dengan memberikan sanksi kepada promotor dan ko-promotor dengan jenis sanksi yang berbeda.
Namun, sanksi tersebut dibatalkan oleh hakim PTUN dengan dikabulkannya gugatan Chandra Athor. Dalam amar putusan gugatan yang dilayangkan Chandra, hakim menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Sementara, gugatan Athor dikabulkan seluruhnya oleh hakim.
Tempo telah menghubungi Rektor UI Heri Hermansyah untuk meminta tanggapan mengenai putusan ini. Namun hingga Sabtu siang, 4 Oktober 2025, pesan Tempo belum berbalas. Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Hubungan Media dan Pengelola Reputasi Digital UI, Emir Chairullah, menyampaikan kampus belum dapat berkomentar ihwal putusan tersebut.
“UI menghormati putusan yang dibuat PTUN Jakarta,” kata dia. Emir mengatakan UI belum menentukan langkah apa pun selain menghormati putusan.
Dinda Shabrina, Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artikel ini